“History isn’t about dates and places and wars. It’s about the people who fill the spaces between them.” – Jodi Picoult
PART 3
Kepingan ketiga ini saya akan bercerita singkat tentang Bangkok. Kepergian ke Bangkok kali ini penuh dengan drama. Kenapa? Kita lihat dari tanggalnya: 2 Desember 2018. Yup, 212. Sebagai orang berdomisili di Jakarta Pusat, dekat Monas, di pusat segala per-habib-an, tentu tanggal ini tak bisa dianggap seperti biasa saja.
2 Desember 2018
Biasanya saya pergi ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar 2 jam sebelum keberangkatan, menggunakan taksi online atau taksi konvensional. Tapi saya tahu ada yang “spesial” di hari itu: 212. Jalanan sekitar Monas dipenuhi dengan manusia….. tahu lah, manusia seperti apa yang memenuhinya. Saya berniat untuk pergi 4 jam sebelum keberangkatan. Aman? Seharusnya.
Tet tooooot, tidak ada taksi online yang bisa datang, beberapa kali dibatalkan karena “tidak bisa jalan ke sana”, akhirnya saya ke jalan raya untuk mencari taksi. Ternyata tidak mungkin dilewati oleh kendaraan roda 4 – terlalu ramai manusia! Menggeret koper, saya berencana untuk naik ojek online ke stasiun Sudirman untuk kemudian naik kereta bandara. Lagi-lagi tak ada ojek online yang mau ambil. Saya menggeret koper lebih jauh untuk berjalan kaki ke stasiun Gondangdia. Dari Stasiun Gondangdia, saya berencana untuk transit di Manggarai lalu naik kereta ke Stasiun Sudirman (saat itu kereta bandara belum berhenti di stasiun Manggarai, dengar-dengar saat ini sudah bisa naik kereta bandara dari stasiun Manggarai). Saya tahu kereta akan sangat ramai, tapi saya tidak sangka bahkan memasuki stasiunnya saja amat sangat ramai sehingga diberlakukan buka tutup.

Waktu terus mengejar, hingga akhirnya saya ada naik kereta sekitar 1 jam sebelum keberangkatan. Yup, saya habiskan 2-3 jam sia-sia. Sudah pesimis dan pasrah, saya bilang ke pak bos kalau saya sepertinya akan ketinggalan pesawat – untuk yang pertama kalinya! Sesampainya di Manggarai, kereta tidak langsung datang, cukup lama menunggu sampai saya bisa berinteraksi dengan orang lain yang juga ingin ke bandara (tapi dia juga ikutan 212 dari luar kota jadinya saya harus berhati-hati agar tak menjelekkan 212). Akhirnya sampai di Stasiun Sudirman! Bergegas ke stasiun sebelah untuk naik kereta bandara. Oh tidak! Dilihat dari jadwalnya, kalaupun saya naik kereta bandara, saya tidak akan bisa mengejar pesawat. Langsung keluar lagi, untung saja tidak terlalu susah mencari taksi di sana meskipun harus menggeret koper lagi ke jalan besar. Saya sudah pasrah, saat saya tiba di bandara, pesawat saya baru saja take off. Thanks.
Langsung saya beli tiket maskapai lain yang lebih murah, Lion Air, tapi harus transit di Singapore sekitar 1 jam dan saya akan tiba di Bangkok sekitar pukul 10 malam, dari yang seharusnya pukul 4 sore sudah ada di Bangkok. Selesai dramanya? Belum 🙂
Tiba di Changi Airport di waktu yang amat sangat mepet, saya langsung menuju ke check in counter dan si mbaknya udah panik karena waktu boarding sudah hampir selesai. Lagi-lagi! Namun untungnya saya bisa boarding dan akhirnya meninggalkan Singapore.
Hai Bangkok! Kali ini saya menginap di daerah Siam.
5 Desember 2018
Selama saya di Bangkok, rasanya belum pernah menginjakkan kaki di surga backpacker, Khao San Road. Memang untuk ke Khao San Road perlu menggunakan taksi karena tidak dilewati BTS atau MRT, dan cukup jauh untuk berjalan kaki. Saya beserta pak bos dan beberapa teman mencari foot massage dan makan malam di Khao San. Seperti biasa, kami makan makanan Thailand di pinggir jalan. Semua orang bilang Thai Tea nya 7-Eleven juara, sehingga kali itu saya coba Thai Tea 7-Eleven. Dan memang enak ternyata!
Khao San Road terkenal dengan street foodnya. Ngomong-ngomong tentang street food, masih ada street food yang ingin saya coba di Bangkok: serangga. Di perjalanan ke Bangkok yang pertama kali, saya mencoba belalang, tapi panganan belalang masih lumrah kita temukan di Indonesia. Kali ini apa ya? Tarantula? Lipan? Kalajengking? Pupae?
Akhirnya saya menjatuhkan pilihan di *drum roll please* KALAJENGKING! Di luar dugaan, rasanya lumayan manis, karena mungkin dari bumbu seperti minyak yang disemprotkan saat ada yang membelinya. Keras tentunya, karena eksoskeletonnya, not bad. Saya lebih bisa makan kalajengking daripada belalang yang banyak nyangkut di lidah.
Tanggal 5 Desember diperingati sebagai Father’s Day di Thailand, karena bertepatan dengan hari lahirnya the late King Bhumibol Adulyadej. Jalanan meriah dihiasi lampu, foto keluarga kerajaan, masyarakat Thailand menggunakan baju warna kuning, dan ada berbagai macam event. Kami jalan-jalan di sekitaran Grand Palace dan Sanam Luang. Ternyata Grand Palace kece juga ya kalau malam, apalagi ditambah rangkaian lampu yang menggantung di setiap pohon karena perayaan Father’s Day.
Oh iya, saya pernah dengar kalau Wat Arun juga cantik kalau malam hari, dan dari sela-sela jalan dekat Grand Palace kami bisa melihat Wat Arun dari seberang sungai.

6 Desember 2018
Saya baru tahu ternyata ada sebuah tempat bernama Bangkok Art & Culture Centre (BACC) di Siam, sangat dekat dengan BTS National Stadium. Sebuah galeri yang isinya merupakan instalasi, karya seni, atau diorama mengenai Thailand. Di sana juga ada beberapa toko, dan favorit saya adalah toko zero waste. Kamu bisa temukan perintilan zero waste di sana, juga shampoo batangan yang beberapa hari terakhir saya cari di berbagai mal di Bangkok. Sayang koleksinya belum terlalu banyak, sehingga saya tidak terlalu lama menghabiskan waktu di sana.

Sekian jalan-jalan di Bangkok kali ini!
PART 4
Kali ini saya berada di Bangkok sekitar 2 minggu. Kemana saya menghabiskan weekend? Di weekdays saya jalan-jalan di Bangkok bersama kolega, jadi saya berencana untuk “ngecharge” diri dengan jalan-jalan sendiri ke tempat yang belum pernah saya datangi. Asalnya berpikir untuk ke Chiang Mai menggunakan kereta atau sleeper bus, tapi rasanya akan memakan waktu banyak, sehingga saya memutuskan untuk ke Ayutthaya yang jaraknya hanya sekitar 80an km dari Bangkok dan bisa hanya dalam satu hari.
23 Februari 2019
Ayutthaya adalah sebuah kota tua yang dulunya merupakan ibukota kerajaan Siam di abad ke 14. Ayutthaya dikelilingi oleh sungai sehingga membuat Ayutthaya seperti pulau sendiri. Kota ini pernah dinobatkan sebagai salah satu kota terkaya pada zamannya karena jadi jalur dagang berbagai negara. Di sana banyak candi-candi atau temple dengan gaya kuno, tak seperti temple di Bangkok.

Berbekal ilmu dari pencarian di Google dan informasi dari Lock, teman saya yang orang Thailand, saya memutuskan untuk ke Ayutthaya menggunakan kereta (karena belum pernah naik kereta juga sih di sana). Waktu itu saya menginap di sekitaran Victory Monument, jadi dari pagi saya sudah jalan ke BTS Victory Monument untuk turun di BTS Mo Chit dan naik MRT dari taman Chatuchak menuju stasiun Hua Lamphong. Memang jadinya muter sih, tapi saya cari rute yang bisa dilewati dengan BTS dan MRT. Oh iya, untuk pertama kalinya saya naik MRT Bangkok 🙂
Stasiun Hua Lamphong sepertinya adalah stasiun kelas ekonomi dan bangunannya sudah tua, karena suasananya mengingatkan saya pada Stasiun Jakarta Kota. Tidak susah untuk membeli tiket, karena loket mudah ditemukan dan kamu hanya tinggal sebutkan tujuan, kemudian dia kasih pilihan jadwal, kita tinggal pilih. Tiketnya seperti gambar di bawah ini.

Entah memang biasa atau tidak, keretanya delay lama sekali, bisa sampai sejam seingat saya. Seharusnya jam 10 pagi kereta sudah tiba, namun baru datang sekitar 11an. Platform sudah penuh dan selagi menunggu saya mencari tahu tentang transportasi di Ayutthaya. Begitu kereta datang, saya periksa tiket untuk cari tempat duduk, namun ada hal lain yang jadi concern: saya membeli tiket yang “standee“, alias tidak ada tempat duduk. Saya tidak tahu kalau tiketnya dibagi berdasarkan kelas, langsung dikasih yang standee (kelas 3) seharga 15 Baht (sekitar Rp7.000an). Ya ampuuuun masa harus berdiri sekitar 1,5-2 jam setelah disuruh nunggu kereta sekitar sejam? Info dari Lock, kalau tidak ada nomor kursi berarti kita bisa duduk di mana saja asal kosong. Jadi siap-siap untuk diusir jika duduk di tempat yang sudah dibeli orang lain. Saya langsung duduk di tempat kosong, lalu ada 2 bule duduk di depan saya. Posisinya berhadap-hadapan dengan saya. Tak lama ada 2 wanita Thailand datang dan bilang kepada dua bule itu bahwa itu kursi mereka. Selama perjalanan saya tidak tenang takut diusir penghuni legal kursi itu. Namun untungnya tidak ada yang duduk di kursi yang saya duduki, bahkan diajak ngobrol oleh 2 wanita Thailand tadi (berkali-kali dibilang cantik sama mereka hehehe ;)) Tapi memang, banyak yang berdiri selama perjalanan itu. Wow… kejam ya 😛

Sampai di stasiun Ayutthaya, saya tidak tahu harus kemana. Banyak tempat penyewaan sepeda, namun saya lihat peta Ayutthaya sepertinya tidak terlalu besar jadi saya memutuskan untuk berjalan kaki. Saya suka berjalan kaki di tempat baru.

Mengikuti peta, saya menyeberangi sungai dengan harga 5 Baht (sekitar Rp2.500), lalu berjalan mencari makan dan naik songthaew ke komplek candi yang berada di tengah “pulau” Ayutthaya bernama Ayutthaya Historical Park. Di komplek candi ini disediakan tur menggunakan gajah 😦
Untuk masuk ke candi-candi ini dikenakan biaya. Kalau saja saya bisa bahasa Thailand, saya pasti dapat harga normal karena saya selalu diberikan tiket Thai. Tapi karena saya bicara bahasa Inggris jadi diberikan tiket untuk pelancong. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Wat Phra Ram yang dibuat di abad 14 namun telah direkonstruksi. Terlihat oleh saya yang sok tahu ini, konstruksinya dibuat dari batu dan bata merah. Di Wat Phra Ram tidak banyak pengunjung, hanya beberapa orang, jadi tempatnya sangat tenang untuk dieksplor. Untuk pelancong, tiket masuk Wat Phra Ram yaitu 50 Baht (sekitar Rp 20.000an), jika lokal mungkin setengahnya.

Situs kedua yang saya datangi adalah landmark dari Ayutthaya Historical Park, yaitu Wat Phra Si Sanphet yang terdiri dari 3 chedi. Diyakini 3 chedi ini menyimpan abu dari 3 raja zaman dulu. Berbeda dengan Wat Phra Ram, di sini sangat ramai oleh pelancong, paling banyak saya temukan pelancong dari Jepang. Wat Phra Si Sanphet dulunya merupakan tempat upacara utama kegiatan kerajaan zaman dulu dan dianggap sebagai tempat paling penting di Ayutthaya. Wat Phra Si Sanphet beserta situs lain di Ayutthaya dihancurkan saat invasi oleh Burma di abad 18, sehingga yang sekarang berdiri adalah situs yang telah direkonstruksi. Dari info yang saya baca, dulunya Wat Phra Si Sanphet dihias oleh 200 kg emas murni, namun diambil oleh Burma saat invasi Burma. Tiket masuk Wat Phra Si Sanphet juga 50 Baht, sama seperti Wat Phra Ram.

Ternyata komplek ini terlalu besar untuk berjalan kaki, sehingga saya tidak mampu untuk mengelilingi semua Wat. Hanya ada 2 temple lagi yang saya datangi (lupa namanya), tapi tak jauh berbeda dengan temple yang ada di Bangkok. Setelah itu saya mulai berjalan kaki di sekitar Ayutthaya Historical Park (di luarnya), entah ke arah mana. Saya berjalan kaki berjam-jam yang rasanya seperti tak ada habisnya. Menyesal kenapa tidak menyewa sepeda. Entah kemana kaki saya berjalan mengikuti peta, melewati perumahan, jalan raya, melintasi taman, akhirnya saya tiba di sebuah pasar malam yang sedang siap-siap buka. Awalnya saya tertarik untuk berfoto menggunakan baju tradisional Thailand, tapi setelah dipikir-pikir sepertinya saya lagi buluk dan sudah terlalu lelah untuk mengitari pasar malam yang mulai ramai itu. Saat itu sore sudah semakin larut, sebentar lagi matahari terbenam dan saya memutuskan untuk pulang ke arah stasiun Ayutthaya. Sepanjang jalan saya mencari transportasi umum tapi yang saya temukan hanya sebuah tuktuk yang menggetok harganya jadi saya tolak. Pride, huh?
Sepanjang jalan rasanya hanya menyeret kaki tak lagi bernafsu untuk mengitari kota. Seperti semesta ingin menambah cerita saya di Ayutthaya, tiba-tiba ada segerombolan anjing berlari ke arah saya, saya pikir “Ya Tuhan apalagi ini” sambil dikerubungi rasa takut, lalu mereka menggonggong agresif ke saya sambil meloncat, sudah tak berdaya saya hanya “hus hus” hingga akhirnya ada bapak-bapak di seberang yang berteriak pada anjing-anjing itu untuk mengusir. Untung nurut, anjing-anjing itu pergi. “Kab khun khaaa!”, teriak saya sambil saling melambai.
Sungai tempat menyeberang sudah terlihat, akhirnya sampai juga di Stasiun Ayutthaya. Saya segera beli tiket pulang yang ada nomor kursinya sekitar 45 Baht, dan ternyata keretanya berbeda dengan yang sebelumnya. Kereta ini tidak ada kacanya, sehingga saya yang duduk di pinggir jendela sudah pasrah dengan debu-debu yang masuk ke mata, nempel di kulit, angin mengempas wajah dan rambut, senyumin aja ya 🙂

Sampai di Hua Lamphong, saya pulang dengan rute yang sama seperti perginya, lalu berjalan kaki menuju penginapan AirBnB di daerah Victory Monument. Sampai di sini? Belum. Di perjalanan saya diikuti laki-laki yang mengejar dan bicara bahasa Thailand. Sudah saya usir, akhirnya terpisah, lalu mengejar lagi. Takut Ya Allah, udah dong dramanya 😦 Untung saat di depan penginapan dia sudah tidak mengikuti lagi.
Terima kasih Ayutthaya, sudah buat kaki bengkak karena jalan kaki sekitar 30an km 🙂
*Dibuang Sayang,
Kembali ke Bangkok, besoknya saya ke Lumphini Park untuk jernihkan pikiran. Lumphini Park menyenangkan, meskipun ramai orang olahraga namun masih bisa menenangkan pikiran dengan pemandangan di danau yang tenang. Jika ingin olahraga sore atau sekedar jalan-jalan, silakan kunjungi salah satu taman terbesar di Bangkok, Lumphini Park, di Sala Daeng.
Things I’ve Learned from These Trips:
- Force Majeure happens, jadi jika ada hal-hal di luar sana yang tidak bisa kamu kontrol, antisipasi keberangkatan ke bandara 3-4 jam lebih awal dari biasanya.
- Jangan sok tahu, kecil di peta belum tentu mudah dijangkau dengan jalan kaki. Rent a bike if you’re planning to go to Ayutthaya, or if you’re willing to spend more Bahts, you can rent tuktuk.
Signature Food I’ve Tried:
- Kalajengking – surprisingly tidak aneh rasanya, seperti makan sesuatu yang keras dan oily. Mungkin karena bumbunya cukup enak. Udah bisa dapet gelar Kalajengqueen?
- Di Bangkok ada makanan dengan presentasi yang cukup aneh, saya lupa ini apa, tapi ada yang bisa jelaskan kenapa garamnya dibuat menumpuk di bawah?
What I Think About These Trips:
Sebenernya sayang banget sih ke Ayutthaya cuma sehari dan jalan kaki, karena sebenarnya banyak yang bisa dieksplor. Butuh waktu minimal 2 hari dan sewa sepeda agar bisa berkeliling Ayutthaya dengan nyaman. Oh iya Ayutthaya panas banget, jadi pakai sunscreen dan bawa topi ya. Mungkin next time mau ke sana lagi, biar lebih puas mengeksplor banyak tempat, karena katanya banyak Wat yang bagus di luar “pulau” Ayutthaya.
Akhirnya naik tuktuk di Bangkok setelah berkali-kali ke sana,
Cheers!
Medina
Satu pemikiran pada “Thailand: Bangkok + Ayutthaya Chapter”