“If you want to accomplish the goals of your life, you have to begin with the spirit” – Oprah Winfrey
Apakah kita lebih dekat dengan tujuan atau goal setiap harinya?
The heroes of the story:
- Medina Basaib
- Office folks (Arifsyah Nasution, Margaret Chavez (and her parents), Sonny Batungbacal, Oscar, Tang, Jib, Vince Cinches, Mark Dia)
Setiap manusia pasti punya tujuan dalam hidupnya. Bayi menangis dengan tujuan diberi makan agar kenyang. Balita tertatih-tatih berjalan dengan tujuan mengambil mainan di ujung ruangan agar bahagia. Intinya, kita selalu punya tujuan setiap harinya. Kita selalu melangkah mendekati tujuan itu, sampai atau tidak, yang penting kita jadi lebih dekat dengan tujuan itu.
Singkat cerita, saya selalu bermimpi untuk bekerja di tempat yang cukup idealis, dan salah satu mimpi saya sejak menjadi mahasiswa tingkat awal adalah bekerja di sebuah NGO yang concern dengan lingkungan – membuat dunia ini lebih baik dengan menyelamatkan alamnya (naif, bukan?). Cerita mengenai mimpi saya ini dan mimpi yang lebih besar lagi saya tulis di blog lain. Jadi, betapa takjubnya saya saat diterima sebagai Digital Campaigner di NGO tersebut, dan mulai bekerja mulai 2 Oktober 2017. Saya tahu saya lebih dekat dengan tujuan saya di bumi ini, yaitu menjelajahinya dan mengukurnya dari berbagai sisi.
27 November 2017
Atasan saya, Mas Afif, tiba-tiba mendatangi meja saya dan berkata,
“Med, udah ada paspor?”
“Udah, Mas, kenapa?”
“Minggu depan ke Filipin ya. Meeting ocean sama Arifsyah”
“Wha…. okay”
Medina, yang belum pernah ditugaskan ke luar negeri cukup melongo.
Dengan bantuan beberapa staf kantor, akhirnya tanggal 7-10 saya berangkat ke Manila, Filipina untuk mengikuti Ocean Team Evaluation & Planning Meeting bersama kantor Asia Tenggara.
7 Desember 2017
Saya berangkat ke Manila sendirian, karena Mas Arifsyah sudah ada di sana lebih dulu beberapa hari untuk konferensi mengenai lautan. Dengan menggunakan Philippine Airlines, saya berangkat pukul 13.45 dan sampai di Manila pukul 18.45, dengan perbedaan waktu 1 jam lebih cepat dari Jakarta (GMT+8).
Sampai di Manila langsung disambut dengan kata “Mabuhay!“. Apa artinya? Selamat datang? Halo? Ya, mungkin saya akan tanya artinya nanti.
Karena semua dilakukan sendiri, saya tidak dijemput melainkan naik taksi ke hotel. Saya menginap sehari di Hotel 101 Manila, yang terletak di komplek Mall of Asia yang sangat besar dan berada di wilayah reklamasi Teluk Manila. Saya mengantri cukup lama untuk naik taksi, karena taksi yang officially mengangkut penumpang dari bandara tidak terlalu banyak frekuensi kedatangannya.
Saya perhatikan meskipun mukanya sama dengan penduduk Indonesia tapi nilai budaya nya berbeda. Salah satu contoh di kasus ini adalah banyak supir taksi yang berpenampilan seperti stereotype “preman” di Jakarta, muda, badan besar, bertato, muka cukup sangar. Saya berharap saya mendapat supir bapak-bapak hehehe, agar lebih merasa aman di negara orang sendirian untuk pertama kalinya. Setelah sekitar 30 menitan saya menunggu taksi, akhirnya saya mendapatkan taksi. Jangan langsung masuk, karena kamu akan diberikan bon oleh petugas taksi di depan antrian.
Lady: *Speaking Tagalog*
Med: “Sorry, I don’t speak Tagalog”
Lady: “Oh sorry, you look like a Filipino. What is your name?”
Med: “Hehe I’m from Indonesia, and we look alike. I’m Medina”
Lady: “That’s a Filipino surname! Where is your destination?”
Med: “Hotel 101 Manila?”
Lady: “Here, enjoy your trip”
note: Percakapan ini sering terjadi di berbagai tempat yang saya datangi di Filipina.
Lalu petugas itu memberi kertas seperti bon dengan tulisan nama kita dan tujuannya. Beruntungnya, saya mendapat supir taksi bapak-bapak yang ramah sekali. Kami ngobrol panjang lebar mengenai Manila dan gedungnya, Indonesia, kesamaan bahasa Indonesia dan Filipina, kondisi alam Filipina, sampai Eat Bulaga (acara TV dari Filipina yang ada franchise-nya di Indonesia). Saya bahkan diajari beberapa kata bahasa Filipina:
Magandang umaga – Selamat pagi
Magandang gabi – Selamat malam
(Maraming) salamat (po) – Terima kasih (banyak)
*kata po ditambahkan di akhir kalimat jika dikatakan dalam suasana formal
Di hotel, saya berbagi kamar dengan kolega dari Thailand yang dipanggil Tang.
Note: Nama asli orang Thailand biasanya panjang dan susah untuk dilafalkan orang non Thailand, sehingga umumnya mereka punya nama panggilan singkat yang diberikan orang tua atau teman sesuai harapan orang yang memberi nama. Tang sendiri artinya semangka dan jika saya tidak salah tangkap, Tang yang suka semangka diberikan namanya karena buah semangka menyegarkan, harapannya Tang juga bisa menyegarkan orang sekitarnya (hmm sebenarnya rada ditambahin bumbu sih, soalnya rada lupa kenapa dipanggil Tang. Sorry, Tang :P)
Berhubung Tang sudah makan, saya keluar hotel untuk cari makan di sekitar hotel dan membeli sim card untuk bisa menghubungi orang rumah atau orang kantor lainnya, yaa intinya agar tetap terhubung dengan dunia luar hehehe.. Di Filipina, ada satu franchise makanan cepat saji bernama Jollibee yang sangat terkenal. Saya makan di sana, begini penampakannya:

8 Desember 2018
Berhubung kami akan melakukan meeting di kota lain bernama Tagaytay, kami bangun pagi-pagi untuk sarapan, bertemu tim ocean lain dan langsung melanjutkan perjalanan ke Tagaytay. Jarak dari Manila ke Tagaytay sekitar 1.5-2 jam dan kami melewati jalan tol. Lucunya, berbagai sudut jalan tol di sana mirip dengan jalan tol di Cawang-TMII, ada beberapa toko berbentuk gubukan kecil. Mampir di rest area saya baru sadar bahwa kunci kamar hotel masih saya bawa…….. padahal sudah check out. Classic Medina. No worries, saya berikan pada supir yang disewa bolak-balik.
Akhirnya sekitar pukul 8 sampai di Tagaytay! Saat keluar mobil, waah udaranya berbeda dengan Manila. Jika cuaca Manila sama dengan Jakarta, di Tagaytay mirip dengan Lembang. Tempat meeting kami adalah sebuah resort relaksasi bernama Nurture Wellness Village. Wah… suasananya sangat jauh dari meeting, seharusnya relaksasi di sana.
Intermezzo
Turun dari mobil langsung disambut dengan gombalan staff resort……..
Man: “Hello, welcome to Nurture Wellness Village”
Med: “Hello”
Man: “Where are you from?”
Med: “Indonesia. Ooooh, I learnt Tagalog last night. Magandang umaga”
Man: “Magandang umaga! And you’re just magandang”
Med: “……. okay”
FYI magandang artinya cantik atau bagus. Oke, baru sampe loh saya, kok masnya udah gombalin pengunjung :”””””)
Meeting baru mulai jam 9, jadi kami masuk kamar dulu dan ternyata resort ini luaaaaas sekali. Kamar-kamarnya berbentuk rumah bungalow, dan saya mendapatkan kamar sendiri yang saaaaangat kece. Saya mendapatkan kamar yang berada di pojokan dengan speaker di luar kamar mendendangkan lagu-lagu relaksasi, taman, bahkan sebelahnya ada hutan, jurang kecil dan sungai. Kamar saya bernama “Pag Asa”, yang artinya asa atau harapan. See, similarities?


WHAAAAAT….? SOOOO GOOOOD…
Cuma taruh barang dan rebahan sedikit, meeting dimulai di ruang serbaguna.
Selesai meeting, malamnya kami dijemput untuk spa karena menginap di Nurture Wellness sudah sepaket dengan spa dan massage, dan saya memilih full body massage. Healthy body, healthy mind, right? Menurut info dari Margaux, saya dianjurkan untuk mandi dulu dan setelah massage tidak perlu mandi. Massage dimulai. Soooooooooo relaxing. I had the best massage ever. No kidding. Yaa berhubung seumur hidup, saya hanya pernah massage sekitar 2-3 kali di Jakarta. Itupun di tempat yang biasa saja seperti Bersih Sehat. Dasar emang jarang massage dan jarang bertemu bath tub, setelah massage saya memutuskan untuk berendam di bath tub untuk menghilangkan minyak, lalu tidur.
9 Desember 2017
Sebelum massage kemarin, kami janjian untuk berkumpul jam 7 dan berjalan-jalan sekitar Tagaytay. Ternyata pagi-pagi hanya saya, Tang, Jib, dan Mark yang muncul. Mark yang orang Filipina menjadi tour guide kami. Kami pergi mengunjungi kafe untuk sarapan dengan pemandangan danau Taal dan gunung berapi Taal. Taal ini seperti Danau Toba. A lakeception: a volcano within an island within a lake within an island within a lake within an island. Katanya, Taal Volcano ini adalah gunung berapi aktif terkecil di dunia. Cantiiiiiiiiiik sekali karena matahari pagi masih malu-malu dengan semburat sinarnya menembus awan, udara sejuk, suara burung dan alam yang menenangkan.


Menjelang meeting hari kedua dimulai, kami kembali dan lanjut meeting sampai siang lalu kembali ke Quezon City, kota kantor NGO kami cabang Filipina berada. Quezon City ada di pinggir Manila. Ibarat Jakarta adalah Manila, mungkin Quezon City adalah Depok atau Bekasi. Masih dalam area Metro Manila (seperti Jabodetabek).
Saya sudah mulai merasa masuk angin. Mungkin karena saya “nekat” berendam di bath tub malam hari setelah massage (kondisi pori-pori kulit terbuka). Ah alhasil sepanjang perjalanan ke Manila saya pusing sekali seperti mabuk darat (padahal amat sangat jarang mabuk darat). Saya hanya bisa diam. Ambil koyo, tempel sana-sini, minum ramuan pengusir angin, berusaha tidur. Belum lagi jalannya yang cukup bumpy dan ngebut. Saat ditanya Vince kenapa pakai koyo di pelipis, saya tidak tahu bahasa Inggrisnya masuk angin, jadi cuma bilang “I feel so gassy“, terus dia bilang “Ah.. You have car sick?” Oke, car sick lebih kece dari gassy yang identik sama kentut-kentut. Tapi ada tidak sih, istilah masuk angin di bahasa Inggris?
Oh iya, pagi itu Mark menjelaskan bahwa di Filipina ada peraturan tidak tertulis, jika dua (atau lebih) kendaraan yang akan berpapasan dan melewati jalan yang sama, siapa cepat ia duluan. Jadi mobil dan motor di sana saat berpapasan dengan mobil lain malah ngebut lalu rem mendadak, bukannya memelan. Jadi bayangkan mabuk darat saya seperti apa menjadi-jadi.
Keluar mobil ternyata Tang juga mabuk darat malah hingga muntah-muntah. Untung saya tidak muntah. Atau malah tidak untung? Setelah turun saya baru dapat info kalau supirnya dulu pengendara ambulan, makanya selalu ngebut. Jadi bayangkan mabuk darat saya seperti apa menjadi-jadi.
Kami menginap di Hive Hotel, hotel bergaya retro mod, dan cukup unik. Lagi-lagi dapat kamar sendiri 😀 Awalnya Margaux mengajak kami untuk jalan-jalan dan cari makan, tapi saya tidak sanggup. Akhirnya diputuskan Margaux akan menemani saya dan Mas Arifsyah jalan-jalan di Manila besok harinya. Sisa hari itu saya hanya ingin menyembuhkan masuk angin saya. Malam harinya harus cari makan dong agar perut tidak kosong di kala masuk angin, tapi cari makanan di sana cukup sulit. Kami tidak tahu mana hidangan yang halal, dan kondisi badan yang picky ingin sup. Oh iya, sebelum ke Manila, teman saya berpesan untuk saya membawa sambal atau bubuk cabe sendiri karena makanan di sana cukup hambar untuk lidah Indonesia. Sayangnya saya tidak bawa. Akhirnya saya menemukan hidangan seperti sop iga dan kol yang sangat hangat dan setelah minta cabe rawit baru terasa enak. Lega rasanya.
Kebetulan hari itu sedang ada parade komunitas LGBTQ+ di Quezon City. Katanya Quezon City adalah salah satu kota yang paling open minded untuk urusan ini, makanya diadakan di sana. Saya dan Mas Arifsyah lalu pergi melihat pertunjukan mulai dari konser, fashion show, hingga kabaret lady boy. Ramai sekali! Pulangnya akhirnya saya membeli minyak angin!


10 Desember 2017
Pagi hari saya dan Mas Arifsyah sudah dijemput Margaux dan orang tuanya untuk diajak jalan-jalan di Manila. Pesawat kami malam, jadi masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan. Jalanan di Manila sungguh padat. Macet tidak hanya di Jakarta ternyata. Kadang malah lebih parah dari Jakarta, karena di Jakarta pengemudi tidak se-slebor pengemudi Manila. Mungkin karena peraturan siapa cepat dia dapat yang saya dengar sebelumnya.
Destinasi pertama yang kami datangi adalah Fort Santiago di Intramuros. Intramuros artinya “kota di dalam” atau “walled city“, jadi dulunya ada benteng besar mengelilingi satu wilayah yang jadi pusat pemerintahan. Sekitar Intramuros penuh dengan gedung-gedung tua, dan banyak sekali gereja Katolik. Mungkin Intramuros ini seperti kota tua di Jakarta.
Di Intramuros kami belajar sedikit mengenai sejarah Filipina dari Margaux dan orang tuanya. Kami kenalan dengan sosok pahlawan kontroversial Filipina bernama Jose Rizal. Kenapa kontroversial, karena menurut Margaux dia bukanlah “pahlawan” sesungguhnya yang biasanya identik dengan perjuangan hingga titik darah penghabisan. Pahlawan sesungguhnya malah kurang dihargai. Kenapa, karena dia tidak bisa membaca, sedangkan Jose Rizal ditunjuk sebagai pahlawan karena ia berpendidikan dan sering membuat tulisan aspirasinya mengenai perjuangan rakyat Filipina. Maka dari itu patung atau gambar Jose Rizal seringkali ditampilkan sedang memegang buku. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di sini, karena saya kurang tahu lebih dalam mengenai Jose Rizal dan sejarah Filipina.
Tidak hanya belajar sejarah di benteng yang dijadikan museum ini, saya juga belajar mengenai budaya Filipina yang mulai menghilang karena banyak terpengaruh budaya lain. Saya juga jadi tahu bahwa dari segi sejarah, budaya, bahasa, Indonesia dan Filipina memiliki sangat banyak kesamaan.
Hari sudah siang, kami mampir di Chinatown tidak jauh dari Intramuros, makan siang di restoran favorit keluarga Margaux bernama Ying Ying Tea house. Katanya di sana makanannya sangat enak. Chinese food is always good though, just be careful of non-halaal food. Konon Chinatown ini adalah yang terbesar di dunia. Eh atau tertua? Lupa.
Oleh-oleh time! Oleh-oleh adalah hal yang wajib bagi orang Filipina, mereka biasa menyebutnya Pasalubong. Margaux menyarankan kami membeli polvoron dan manisan kering mangga. Polvoron rasanya mirip susu bubuk dan salah satu makanan khas Filipina yang biasa dijadikan oleh-oleh.


Maraming salamat, po, especially for Margaux’s family. Such wonderful and kind people!
Pesawat kami take off jam 8 malam, dan biasanya saya tidak ceritakan apa yang terjadi di pesawat. Tapi inilah dia. Baru kali ini saya merasakan turbulensi yang cukup kencang hingga rasanya pesawat jatuh sedetik. Makanan dan minuman saya yang berada di meja langsung loncat dan berantakan di lantai pesawat. Saya yang asalnya ngantuk langsung melek. Ibu-ibu di depan saya panik memanggil-manggil nama Tuhan, dan saya belum pernah setakut itu di pesawat. Untung masker oksigen tidak sampai turun. Padahal langit sedang cerah. Bintang rasanya sejajar dengan saya. Kamu tahu saya sesenang itu melihat hamparan bintang. Sejak itu saya selalu waswas kalau naik pesawat. Sampai di Jakarta langsung lega sekali.
Things I’ve learned from this trip:
- Jangan berrendam di bath tub setelah massage, terutama malam hari
- Selalu bawa minyak angin
- Filipina sangat ramah kok, kenapa selalu ada ketegangan antara netizen Filipina dan Indonesia ya?
Signature food I’ve tried
- Sorbetes – saya beli di Quezon city saat nonton pertunjukan komunitas LGBTQ+, seperti es nong-nong.
- Polvoron – cemilan rasanya mirip Energen tapi padat 😀
- Cebu dried mango – enak banget manisan mangganya. Keluarga saya ketagihan.
- To be honest, saya tidak mencatat nama-nama makanannya hehehe.. Yang paling saya suka yang mirip sop iga dan kol itu.
What I think about this trip:
Filipina ternyata punya lebih banyak kemiripan dengan Indonesia dari yang saya pikir sebelumnya. We should be best friends, not net-enemies! Saya sering sekali baca pertikaian netizen Filipina dan Indonesia di internet. Shame on you! Selain itu, saya cukup prihatin dengan budaya Filipina yang semakin lama tergeser. Dulu budaya asli Filipina tergeser oleh budaya Spanyol saat dijajah. Kita beruntung tidak dipaksa berpindah keyakinan atau ganti nama sesuai dengan nama-nama Belanda. Pengaruh Spanyol sangat terrasa dari nama penduduknya, nama jalan, nama kota, gedung, juga baju tradisionalnya. Bahasa mereka juga terancam “tidak laku” karena bahasa Inggris sangat populer. Saya pernah nonton tayangan Youtube mengenai ini, ternyata sebagian besar orang Filipina tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Filipina yang baik dan benar, selalu ada sisipan inggris. Hal ini karena bahasa Inggris adalah bahasa resmi kedua di sana, sehingga sebagian besar orang Filipina bisa bahasa Inggris dengan sangat lancar. Padahal setelah saya tahu, ternyata bahasa Filipina itu sangat puitis loh. Seperti “Mabuhay“, artinya setara dengan “long live” atau “have a good life”. “Magandang umaga” bukan hanya selamat pagi, tapi “what a beautiful morning!“. Semoga Filipina bisa mempertahankan budayanya yang saya yakin sangat kaya!
Rincian biaya tidak saya cantumkan karena kebanyakan ditanggung oleh kantor, paling saya hanya jajan, oleh-oleh, dan kartu pos. Biaya hidup di sana tidak jauh dengan Jakarta kok 🙂
Baru sampai sedetik di Jakarta dan disuruh mengukur bumi lagi,
Cheers!
Medina