“As with any journey, who you travel with can be more important than your destination” – Anonymous
Merupakan keinginan yang sangat besar, untuk memiliki seseorang yang juga jatuh cinta terhadap kemana ia bebas menapak.
The heroes of the story:
- Medina Basaib
- Febriyara Ardhi Putra
- Geng Kili Kili Adventure (sekitar 40 orang)
Singkat cerita, Ked dan Keb ingin sekali untuk suatu saat bisa membuat open trip yang unik. Pikniknya Langit Renjani. Seperti apa? Mereka masih belajar.
Sekitar November 2014. “Ked, ada open trip ke Menjangan, Ijen, Baluran. 950ribu. 2 kali nyicil. Pas liburan Natal. We’re on? Yuk” “Def :)”. Setelah itu kami mempelajari itinerary, rencananya trip ini akan dilaksanakan dari tanggal 25 – 28 Desember 2014, dengan destinasi Pulau Menjangan, Bali Barat – Kawah Ijen, Banyuwangi Jawa Timur – Taman Nasional Baluran, Situbondo Jawa Timur.
Sekitar awal Desember 2014. “Keb, naik apa ke sananya?” “Cari dari sekarang yuk!” — “Keeeb, gak nemu kereta :(” “Kita coba bis ya..”
Maklum, tanggal keramat liburan. Susah sekali menemukan kereta di waktu yang cukup mepet. Pesawat terlalu mahal. Bis akan memakan waktu yang banyak. Akhirnya kami coba bertanya ke berbagai PO bis. Oke, sepertinya akan bisa.
22 Desember 2014. Rencananya, saya akan izin tidak masuk kantor tanggal 24 Desember dengan alasan sudah pesan tiket bis. Elegi pekerja kantoran. Sayangnya, saya tidak diizinkan karena sudah ada beberapa orang yang cuti pada tanggal tersebut. Karena tidak bisa izin, tidak mungkin naik bis, karena pun kami berangkat tanggal 24 malam, kami akan sampai tanggal 25 tengah malam, sedangkan rombongan Kili Kili akan berangkat dari Surabaya pukul 10 malam. Padahal tiket bis masih bisa dipesan. Oke, opsi bis dicoret. Kereta tidak mungkin. Pesawat? Ah! Saya punya teman di dunia penerbangan, sebut saja Tiwi. Memang nama aslinya sih. Tiwi bekerja di sebuah maskapai penerbangan bernama Citilink di Denpasar. Kali aja kami bisa dapat tiket lebih murah. Terlalu mepet, kami tak bisa mendapatkan tiket murah, namun mendapat kemudahan pemesanan tiket karena Tiwi. Thank you, Iwi!
Baiklah. Tiket sudah di tangan.
25 Desember 2014. Siang itu, saya dan Febry ke terminal Pasar Minggu untuk kemudian naik Damri ke bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pesawat akan berangkat sekitar pukul 5 sore. Di pesawat, kami membeli monopod dulu hehe..
Sampai di bandara Ir. H. Juanda, Surabaya! Waktu itu sekitar pukul 7 malam. Karena tidak mau ribet, kami taruh tas kami di bagasi pesawat. Kami menuju tempat pengambilan bagasi. Putaran pertama, tak nampak tas kami. Putaran kedua, ketiga, keempat, kelima, sampai habis semua tas penumpang lain, kami rasa ada yang tidak beres. Ada sekitar 5 penumpang yang juga tak bisa menemukan tasnya. Ternyata setelah dibicarakan ke kru Citilink, ternyata bagasi kami masih di Jakarta saat itu! Tertinggal pesawat rupanya. Mau protes bagaimanapun, kami bisa apa?
Saya dan Febry segera keluar untuk mencari 2 orang dari Kili-Kili yang bertugas untuk menjemput peserta yang naik pesawat. Kami jelaskan keadaannya, akhirnya diputuskan untuk menunggu tas saja, sedangkan mereka dan peserta lainnya yang sudah dijemput menuju meeting point di Taman Pelangi, Surabaya.
Saya dan Febry juga bingung harus apa, selain bolak balik cek kru dan tas.
Setelah menunggu 3 jam, akhirnya pesawat dari Jakarta tiba juga, dan itu dia tas milik Medina dan Febry! Langsung kami keluar mencari taksi untuk menuju Taman Pelangi. Kami melihat ada 3 mobil minibus Elf yang diparkir di pinggir taman itu. Untung saat itu rombongan belum jalan, karena masih juga menunggu rombongan yang naik kereta ekonomi. Lega, karena setelah kami sampai di Taman Pelangi ternyata masih menunggu yang lain, bahkan bisa santai-santai dulu.
Taman Pelangi cukup ramai dengan anak muda, meskipun saya tidak tahu anak muda yang seperti apa yang memenuhi Taman Pelangi.
Sekitar jam 11 malam, setelah semua lengkap, tim Kili-Kili melakukan briefing dan berdoa, setelah itu berangkat menuju Banyuwangi.
Off we go!

^ Ini minibus yang kami gunakan selama perjalanan
26 Desember 2014. Perjalanan tidak terlalu terrasa, karena malam hari, waktunya kami istirahat untuk mengeluarkan energi esok harinya. Di tengah perjalanan, kami makan subuh dulu di sebuah warung makan tempat pemberhentian untuk istirahat, makan, dan sholat Subuh.
Setelah makan subuh, kami lanjut lagi ke Banyuwangi untuk menyebrang ke Gilimanuk, Bali. Tiba di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, kami disambut oleh sunrise tepi pantai yang cantik seperti ini:

Untuk pertama kalinya, saya naik kapal feri! Sooo excited! Di kapal feri, saya dan Febry duduk di atas, di pinggir. Laut sekitar pelabuhan Ketapang penuh dengan minyak. Tapi suasana syahdunya membuat Febry yang membawa gitarlele nya, mencoba untuk mengkreasikan sebuah nada. Kami akhirnya membuat beberapa bait lirik yang dipadukan dengan nada, kami membuat lagu yang diberi judul “3 Jam di Juanda”, mengisahkan pengalaman kami harus menunggu di Juanda selama 3 jam karena tas kami tertinggal.. Berikut potongan reffnya.. (akan saya post setelah kami rekam dengan lebih berkualitas)
3 jam di Juanda…
Ku menunggu tas tak kunjung datang
3 jam di Juanda…
Ku menunggu takut tertinggal rombongan
3 jam di Juanda…
Hampir saja liburanku batal!
Sekitar sejam, akhirnya kami sampai Pelabuhan Gilimanuk! Tidak buang waktu, kami langsung ke Banyuwedang untuk menyebrang ke Pulau Menjangan, untuk snorkeling di sekitaran Pulau Menjangan, menggunakan perahu motor. Cuaca sedikit gerimis namun tidak lama dan tidak berpengaruh pada kegiatan kami.

Jujur, selama saya mencoba snorkeling di beberapa tempat, tempatnya tidak begitu bagus. Terlalu banyak karang yang rusak dan airnya cukup dangkal, sehingga rawan kena terumbu karang. Namun di Pulau Menjangan saya baru pernah melihat ikan sebanyak itu, terumbu karang masih banyak yang cantik, dan yang paling breathtaking adalah…. topografinya seperti tebing! Saya berenang di batas laut dangkal dan laut dalam.

^ Saya sih tidak berani seperti Febry ini..
Setelah cukup puas mengagumi alam bawah laut, kami istirahat makan di perahu, lalu lanjut ke daratan Pulau Menjangan. Menjangan sendiri bahasa Jawa yang artinya rusa, jadi di pulau ini ada banyak rusa berkeliaran. Di pulau ini, kami langsung disambut oleh Pura dengan patung Ganesha yang besar.

Di pulau ini, kami berjalan-jalan di sekitar desa yang cantik, dari Pura satu ke Pura lainnya. Kami berada di pulau ini sekitar 30 menitan, dan bagi yang mau lanjut snorkeling, bisa snorkeling, bagi yang tidak, silakan menikmati pemandangan laut. Saya dan Febry memutuskan untuk snorkeling lagi. Kali ini saya melakukan snorkeling tanpa pelampung :p Horeee, suatu peningkatan..
Meskipun sempat gerimis sebentar, namun tidak mempengaruhi perjalanan kami kali itu. Kami kembali ke Banyuwedang dengan tersenyum.
Setelah mandi di toilet seadanya di Banyuwedang, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Banyuwangi. Jika datangnya kami disambut sunrise yang cantik, maka pulangnya kami diantar oleh sunset yang tak kalah cantik. Kami menikmati sunset di kapal feri, dan sampai Banyuwangi sudah cukup gelap.
Malamnya kami mampir dulu ke Taman Blambangan di alun-alun kota Banyuwangi. Di sini, lagi-lagi saya dan Febry melakukan hal ajaib. Saya ditantang Febry untuk mengamen di taman ini, yang saat itu sangat banyak penduduk yang nongkrong makan malam bersama teman dan keluarganya. Bukan Medina namanya kalau jiper duluan.. Akhirnya kami mencoba untuk mengamen di sana. Alhamdulillah, ternyata kami mampu mengumpulkan uang sampai belasan ribu rupiah hehehe.. Meskipun sempat ditegur satpam karena tidak boleh mengamen sebetulnya. Emang muka kami tidak seperti pengamen, soalnya kita cakep, jadi orang-orang menyangka kami sedang diospek, bahkan satpam yang melarang kami pun berkata “lanjutkan..”
Perut rasanya sudah memberontak minta diisi. Kami ke sebuah warung makan yang cukup ramai. Konon, warung itu terkenal dengan sambelnya yang khas, sambel matah. Kalau tidak salah, namanya Nasi Tempong. Nasi dengan berbagai lauk, ditambah sambel mentah. Berhubung saya tidak makan sambel, saya sih tidak merasakan sambel khas itu. Selain makan, banyak yang bersiap ganti baju karena dini hari kami akan ke Kawah Ijen.
27 Desember 2014. Berhubung kami tidak stay di satu penginapan, kami menghabiskan semua malam di minibus. Seperti malam sebelumnya, kami tidur di minibus, dan sekitar jam 1 dini hari saya terbangun oleh dinginnya udara. Ternyata mobil sudah diparkir, kami sudah sampai pemberhentian di dekat gunung Ijen. Febry memutuskan untuk keluar, karena ingin membuang urusan di perutnya. Di sana ada toilet. Saya masih tidur-tidur ayam, sampai kaget ketika Febry mengetuk-ngetuk jendela mobil di sisi saya, menyuruh saya untuk keluar, melihat bintang. Ketika saya keluar, benar ternyata, bintangnya banyak dan mengagumkan.
Bintang-bintang di langit, aku ingin terus melihatmu bersama orang ini. Ucap Ked, sambil melirik Keb.
Saya memutuskan untuk bersiap-siap, karena rencananya pukul 2 kami akan naik ke Gunung Ijen dan mencoba untuk mendapatkan si api biru khas Kawah Ijen. Setelah briefing dan berdoa, kami dibagi menjadi 3 rombongan untuk mendaki Gunung Ijen. Gunung Ijen adalah gunung berapi yang masih aktif, dan memiliki kawah bernama Kawah Ijen, yang merupakan produsen alami belerang.
Jalur pendakian Ijen cukup ramah, dengan adanya aspal di sepanjang jalur pendakian, Sempat terpisah dengan rombongan, bertemu, berpisah lagi, sekitar jam 3 an kami sampai puncak Ijen. Karena gelap, saya tidak sadar sudah sampai puncaknya. Dari yang pinggir-pinggir jalur berupa tanah, saya kaget ketika tiba-tiba sebelah kiri saya merupakan tanah lapang, yang setelah dilihat dengan baik ternyata Kawah Ijen. So cool!
Oh iya, sepanjang pendakian, kami diakrabkan dengan pemandangan seperti ini..

^ Penambang belerang
Para penambang belerang ini harus bolak-balik mendaki dan menuruni Gunung Ijen, membawa dua bakul belerang, sepanjang hari. Bisa bayangkan, betapa tangguhnya mereka? Tuhan, bantu mereka.
Ketika mendaki, saya tidak merasa kedinginan. Dingin iya, tapi tidak kedinginan. Barulah ketika sampai puncak, anginnya kencang, saya dan Febry duduk, terasa dingin yang menusuk. Rasanya saya sampai tidak nafsu untuk melihat-lihat karena dinginnya. Dari kejauhan kami melihat Blue Fire yang terkenal itu. Katanya sih saat itu apinya sedang kecil, dari dekat terlihat seperti ini, difoto oleh salah satu anggota rombongan Kili-Kili.

Mata saya sangat berat saat itu, energi saya disedot rasa dingin yang menusuk. Rasanya lamaaaa sekali matahari menampakkan diri. Matahari, aku merindumu, merindukan hangatmu.
Setelah ada guratan matahari, saya dan Febry memutuskan untuk jalan-jalan dan melihat kawah Ijen lebih jelas.

Terang datang, Kawah Ijen tampak seperti ini.

^ Di foto ini tidak nampak kawahnya, yang merupakan kawah berwarna biru toska.
Setelah kembali memandangi jajaran gunung dan mengucap keindahan Tuhan, saya dan Febry memutuskan untuk turun. Oke, alasan utamanya karena saya ingin buang air kecil. Serba salah rasanya ketika menuruni gunung dalam keadaan kebelet. Lari salah, jalan pelan juga salah. Definisi surga saat itu adalah ketika menemukan tanah yang datar. Saya belum kepikiran untuk buang air di gunung 😛
Tiba di bawah lebih dulu dari yang lain (yang kabarnya di antara rombongan banyak yang buang air besar di atas gunung karena sambal matah di Nasi Tempong semalam), saya dan Febry istirahat makan kudapan dan ganti baju. Tak lama, rombongan sudah penuh dan kami melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah perjalanan, kami kembali mampir ke rumah makan yang kami datangi sebelum ke pelabuhan Ketapang. Rasanya saya sangat ingin mandi, namun karena waktu yang sempit, akhirnya hanya bisa membersihkan badan seadanya, setelah itu lanjut lagi menuju Taman Nasional Baluran di daerah Situbondo.
Taman Nasional Baluran adalah taman konservasi yang terdiri dari beberapa kawasan. Kawasan yang paling terkenal adalah Savana Bekol, yaitu hamparan sabana yang sangat luas. Savana Bekol juga sering disebut sebagai Africa van Java, karena kondisinya yang mirip sabana Afrika. Mungkin karena gunung layaknya Kilimanjaro di belakang Taman Baluran, atau kumpulan hewan seperti di Afrika.

Cukup mirip Afrika?
Kami tidak menghabiskan waktu banyak di Savana Bekol, karena masih banyak tempat yang bisa kami datangi. Mulai dari pantai, konservasi Mangrove, sabana, sampai gunung, lengkap di Taman Nasional Baluran.
Mobil kami diparkir di dekat pantai Bama, dan dari situ kami jalan kaki menelusuri kawasan konservasi mangrove. Konon di sana ada phon mangrove terbesar se-Asia! Meskipun sudah sekarat, memang pohon mangrove itu sangat besar.

Sore itu hujan turun cukup deras. Acara saat itu memang bebas, ada yang mandi, ada yang makan, sedangkan saya dan Febry membahas bagaimana kami pulang ke Jakarta. Nekatnya, kami tidak memutuskan cara pulang dulu sebelum berangkat. Kami mengobrol ke sana, ke sini, bertanya pada orang lain. Ada pasangan yang punya tiket kereta lebih karena mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bali, jadi tiketnya tidak dipakai. Kendalanya, apakah bisa dipindahtangankan? Alternatif lain, ada salah satu panitia yang orang Surabaya menawarkan bantuan mencari bis. Oke, kami mendapat pencerahan sedikit.
Menjelang maghrib, kami semua berkumpul di satu ruangan untuk memperkenalkan diri (menurut saya rada telat, karena baru memperkenalkan diri setelah perjalanan akan berakhir), juga sharing tentang perjalanan ini. Kili-Kili Adventure bertujuan untuk menyumbangkan buku ke sekolah atau panti asuhan, maka kami para peserta wajib untuk membawa satu buku untuk disumbangkan.
Malam hari, kami melanjutkan perjalanan untuk ke Surabaya untuk kemudian lanjut ke Madura. Saya dan Febry memutuskan untuk tidak ikut ke Madura, karena selain sudah pernah dan saya rasa waktu itu cukup, kami juga harus pulang ke Jakarta yang akan memakan waktu banyak. Tengah perjalanan, kami mampir di salah satu rest area yang katanya rest area terlengkap dan terbesar di Asia Tenggara. Kami makan di sana, sambil mencari-cari cara pulang ke Jakarta. Kemudian mobil dibagi lagi jadi yang langsung pulang atau ikut ke Madura.
28 Desember 2014. Pagi hari sekitar jam 6, kami sampai di Terminal Purabaya. Saya dan Febry turun di sana untuk kemudian mencari bis ke Jakarta. Untungnya, kami langsung menemukan agen bis ke Jakarta (untung?). Tidak lama, bis jalan ke Jakarta. Berhubung bis yang kami tumpangi merupakan bis semi-ekonomi, bis sering berhenti di beberapa tempat sesukanya. Sempat ganti bis di daerah Jawa Tengah, kami lanjut jalan ke Jakarta pukul 3 setelah istirahat makan siang. Perjalanan ini terasa saaaaaaangat lama. Apalagi saat itu baru saya sadari kalau kaki saya bengkak karena terlalu lama duduk, karena sepanjang perjalanan ini kami tidak nginap di penginapan, tapi di minibus. Hari ini kami habiskan di perjalanan, dan kebanyakan tidur hehe..
29 Desember. Sampai Pulogadung sekitar pukul 6 pagi juga, jadi perjalanan memakan waktu sekitar 23 jam. Dari Pulogadung kami naik angkot ke salah satu stasiun dekat sana, lalu transit di Manggarai. Harus langsung ke kantor, Febry naik kereta Jakarta Kota, saya pulang dulu naik kereta Bogor, untuk mandi kemudian ke kantor.
Perjalanan kali ini resmi selesai..
Terima kasih, Kili Kili Adventure, akhirnya saya sempat menapakkan kaki di Menjangan, Baluran, dan Ijen.
Things I’ve learned from this trip:
- Terlalu banyak jumlah peserta yang ikut membuat perjalanan kurang intim rasanya.
- Jangan taruh tas di bagasi, selama tas masih bisa ditaruh di cabin.
- Rencanakan keberangkatan dan kepulangan lebih awal.
- Sepadat apapun perjalanan, siapkan tempat untuk menginap, atau sering istirahatkan kaki, setidaknya selonjoran, agar kaki tidak bengkak.
Signature food I’ve tried:
Nasi Tempong. Oke, saya tidak makan sambel mentahnya, tapi nasi dan lauknya dimakan kok.. Yaaaah, lumayan lah.. kalau lapar.
What I think about this trip:
Hmmmm.. seperti yang saya bilang sebelumnya, jumlah peserta terlalu banyak. Rasanya kurang intim, saya tidak bisa mengingat satupun dari mereka sekarang, to be honest.. Ini dia mereka!

Oh iya ini pertama kalinya saya melakukan trip berdua dengan seseorang yang spesial, meskipun banyak orang sih, tapi yang saya kenal hanya dia, jadi saya selalu bersama dia 24 jam selama 2 hari 3 malam itu. Asal jangan berantem di jalan, ya Keb..
Selanjutnya kemana lagi ya?
Cheers!
Medina
